Assalamualaikum wr. Wb.
Ustad/ustdzah saya Iva, wanita dan sudah menikah. Saya bekerja dan
memiliki anak 1 masih balita. Saya ingin bertanya, bagaimana islam
memandang apabila dalam rumah tangga istri harus memenuhi kebutuhan
sendiri & anak, dikarenakan suami harus membyar cicilan pinjaman di
bank & memberikan nafkah ke ibunya, sedangkan ibu mertua mampu &
msih dapat nafkah dari bapak mertua & dari kakak ipar setiap
bulannya.
Suami takut ibunya marah jika tidak dikasih. Jadi suami tidak bisa
menafkahi istri dan anak. Apakah dalam islam berdosa ustad/ustdzah ?
Apakah islam memandang apabila tidak memberi nafkah ke ibunya, suami
saya berdosa ? Apakah tidak bisa memberi nafkah istri dan anak termasuk
mendzalimi istri & anak ? Mana yang harus didahulukan istri &
anak atau ibunya? Sblm menikah saya seorang yatim & saya juga msih
menjadi tulang punggung keluarga untuk menafkahi ibu saya dan adik saya
sampai saat ini. Bagaimana islam memandang permasalahan ini, mhon
jwabanya ustad/ustadzah. Sukron. Wassalam,
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu
wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba'du:
Dalam Islam jelas bahwa seorang suami bertanggung jawab untuk memberikan
nafkah kepada isteri dan anak-anaknya. Hal ini sebagaimana ditegaskan
dalam Alquran surat an-Nisa ayat 34 dan al-Baqarah 233. Meskipun
kondisi isteri mampu, berkecukupan, bahkan kaya, kewajiban untuk
memberikan nafkah keluarga tetap menjadi tanggung jawab suami, kecuali
kalau isteri ridha dg keadaan yang ada. Namun jika tidak, dan suami
tetap tidak mau memberikan nafkah kepada isteri dan anak, maka sang
suami berdosa. Rasul saw bersabda, "Cukuplah seseorang mendapat dosa
jika ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya."
Selanjutnya seorang suami memang dituntut untuk memberikan nafkah kepada
isteri dan anak, serta kepada kedua orang tuanya jika mereka berada
dalam kondisi membutuhkan dan kekurangan. Kalau suami bisa memenuhi
kebutuhan mereka semua, maka wajib baginya untuk memenuhi.
Namun jika penghasilan atau hartanya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan semua, maka harus ada prioritas. Yaitu yang harus didahulukan
adalah isteri dan anak yang memang berada dalam tanggung jawab utamanya
sebagai seorang suami. Hal ini berdasarkan sabda Rasul saw, "Mulailah
dari dirimu dengan bersedekah (memberikan nafkah) untuknya. Lalu jika
ada yang tersisa maka untuk keluargamu (isteri dan anakmu). Jika masih
ada yang tersisa, maka untuk karib kerabatmu (orang tua, saudara dst),
dan begitu seterusnya."
Imam an-Nawawi berkata, "Apabila pada seseorang berhimpun orang-orang
membutuhkan dari mereka yang harus ia nafkahi, maka bila hartanya cukup
untuk menafkahi semuanya, ia harus menafkahi semuanya, baik yang dekat
maupun yang jauh. Namun apabila sesudah ia menafkahi dirinya, yang
tersisa hanya nafkah untuk satu orang, maka ia wajib mendahulukan isteri
daripada karib kerabatnya yang lain...(Raudhah ath-Thalibin).
Melihat pada kasus Anda, hendaknya suami mendahulukan yang menjadi
kewajibannya, yaitu menafkahi isteri dan anak. Jika kondisinya
benar-benar tidak mampu menafkahi ibunya, maka suami tidak berdosa
karena Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Hanya saja,
hal ini harus dibicarakan secara baik-baik disertai dg pemberian
pemahaman. Kalau ibu masih tetap bersikeras untuk mendapat nafkah suami,
sementara Anda sebagai isteri ridha demi untuk menjaga keutuhan dan
kebahagiaan rumah tangga, maka Anda mendapatkan pahala yang besar insya
Allah. Namun jika tidak ridha, Anda berhak untuk menuntut suami.
Semoga Allah memberikan keberkahan dan jalan keluar terbaik bagi Anda sekeluarga.
Wallahu a'lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.