Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“… dan siapa yang merusak (hubungan) seorang wanita dari suaminya, maka
ia bukanlah dari (golongan) kami’”(Hadits shahîh diriwayatkan oleh
Ahmad, Al-Bazzar, Ibn Hibban, Al-Nasa-a dalam al-Kubra dan Al-Baihaqi)
Belakangan ini film dan sinetron mengenai perselingkuhan, serta orang
ketiga yang menjadi wanita atau pria perusak rumah tangga orang lain
seolah sudah menjadi hal yang biasa saja, padahal ancaman hukumannya
sungguh-sungguh amat berat dalam ajaran Islam.
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah mengatakan tentang hukum merusak hubungan wanita dengan suaminya:
“Perbuatan ini termasuk salah dosa besar, Sebab, jika syari’at melaraang
meminang pinangan saudaranya, maka bagaaimana halnya dengan orang yang
merusak isterinya, serta berusaha memisahkan di antara keduanya sehingga
dia bisa berhubungan dengannya. Perbuatan dosa ini tidak kurang dari
perbuatan keji (zina), walaupun tidak melebihinya, dan hak lain tidak
gugur dengan taubat dari kekejian. Karena taubat, meskipun telah
menggugurkan hak Allah, namun hak hamba masih tetap ada. Menzalimi
seseorang (suami) dengan merusak isterinya dan kejahatan terhadap
ranjangnya, hal itu lebih besar dibandingkan merampas hartanya secara
zalim. Bahkan,tidak ada (hukuman) yang setara disisinya kecuali (dengan)
mengalirkan darahnya.” (al-manawi dalam Faaidhul Qadiir)
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi
seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita
lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini
memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah
ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).
Ada kisah nyata yang terjadi di Lebanon, seorang istri yang terpikat
seorang laki-laki yang dikenalnya ketika chatting di internet. Laki-laki
ini sungguh jauh berbeda dengan sosok suaminya, ia sangat perhatian,
suka bercanda, enak diajak ngobrol, hingga akhirnya sang istri tidak
lagi berminat melayani suaminya dengan baik.
Ketika suaminya menjual komputer rumahnya, karena sang istri keranjingan
chatting, istrinya malah marah-marah dan menggugat cerai. Karena
suaminya begitu menyayangi sang istri, awalnya suaminya menolak
menceraikan, tapi didesak terus-menerus, akhirnya mereka bercerai.
Sang istri mencari lelaki yang di dalam chatting senantiasa berjanji
akan menikahinya jika ia berpisah dengan suaminya. Akan tetapi begitu
ditemui, ternyata lelaki itu menolak untuk menikahinya.
“Aku tidak suka dengan istri yang tidak setia pada suami, sepertimu.
Selama ini, aku hanya menguji sejauh mana kamu setia dengan suamimu”
Maka, sungguh merugilah apa yang telah diperbuat sang istri, karena
mengkhianati suaminya dan terpedaya bujuk rayu laki-laki lain yang
memang suka merusak rumah tangga.
1. Hukum Ukhrowi
Para ulama’ bersepakat bahwa hukum mengganggu dan merusak hubungan
sebagaimana dimaksud dalam hadîts nabi di atas adalah haram maka siapa
saja yang melakukannya, maka ia mendapatkan dosa dan diancam siksa di
neraka.
Bahkan Imam Al-Haitsamî mengkategorikan perbuatan dosa ini sebagai dosa besar.
Dalam kitabnya Al-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir beliau menyebutkan bahwa
dosa besar yang ke 257 dan 258 yaitu merusak seorang wanita agar
terpisah dari suaminya dan merusak seorang suami agar terpisah dari
istrinya.
Alasannya, hadîts nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam – di atas
menafikan pelaku perbuatan merusak ini dari bagian umat beliau, dan ini
terhitung sebagai ancaman berat. Juga para ulama’ sebelumnya, secara
sharîh (jelas) mengkategorikannya sebagai dosa besar. (lihat Al-Zawâjir
juz 2, hal. 577).
b. Hukum Duniawî
Ada dua hukum duniawi terkait dengan hadits ini, yaitu:
1. Jika ada seorang lelaki yang merusak hubungan seorang wanita dari
suaminya, lalu sang wanita itu meminta cerai dari suaminya, dan sang
suami mengabulkannya, atau jika ada seorang lelaki merusak hubungan
seorang wanita dari suaminya, lalu sang suami marah dan menceraikan
istrinya, lalu sang lelaki yang merusak ini menikahi wanita tersebut,
apakah pernikahannya sah?
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa pernikahan sang lelaki perusak dengan
wanita korban tindakan perusakannya adalah sah. Alasannya adalah karena
wanita tersebut tidak secara eksplisit terhitung sebagai muharramât
(wanita-wanita yang diharamkan baginya).
Namun, ulama’ Mâlikiyyah memiliki pendapat yang berbeda dengan Jumhur.
Mereka berpendapat bahwa pernikahan yang terjadi antara seorang lelaki
perusak dengan wanita yang pernah menjadi korban tindakan perusakannya
harus dibatalkan, baik sebelum terjadi akan nikah di antara keduanya
atau sudah terjadi.
Yang lebih menarik lagi dari pendapat Mâlikiyyah ini adalah: ada
sebagian dari ulama’ Mâlikiyyah yang berpendapat bahwa wanita “korban”
tindakan perusakan seorang lelaki, menjadi haram selamanya bagi sang
lelaki perusak tersebut.
Perbedaan pendapat ini kami sebutkan di sini sebagai peringatan keras
bagi siapa saja agar tidak melakukan perbuatan seperti ini, walaupun,
secara hukum fiqih, pendapat Jumhur lebih kuat, akan tetapi, pendapat
Mâlikiyyah, perlu kita jadikan sebagai cambuk peringatan.
2. Jika ada seseorang yang melakukan perbuatan terlarang ini, adakah ia perlu mendapatkan hukuman di dunia?
Para ulama’ berpendapat bahwa perbuatan terlarang seperti ini, jika ada
yang melakukan, maka hakim berwewenang menjatuhkan ta’zîr (hukuman yang
ketentuannya ditetapkan oleh hakim atau penguasa) dengan syarat tidak
melebihi bobot 40 cambukan.
Di antara mereka ada yang berpendapat, hukumannya adalah kurungan
penjara sampai ia menyatakan tobat atau meninggal dunia (sebagian
penganut Mazhab Hanafî)
Di antara mereka ada yang berpendapat, cukup diberi cambukan keras saja,
dipublikasikan perbuatannya, agar orang waspada darinya dan agar orang
lain mengambil ibrah (sebagian penganut madzhab Hanbalî). Semoga kita
semua terhindar dari perbuatan yang sangat tercela ini, aamiin.